
Suasana
keceriaan dan kegembiraan begitulah “natal” digambarkan dalam Keluarga Kudus
Nazaret dalam pandangan umum. Kita mengetahui bahwa sedikit sekali yang melukiskan bahwa “natal”
(latin: natus, Lahir, kelahiran) itu
hanya mungkin karena keberadaan dua makhluk ciptaan Tuhan: “pria dan wanita”.
Alangkah mustahil muncul cerita Keluarga Kudus Nazaret (KKN) tanpa kehadiran dua
makhluk yang secara “gender” berjenis kelamin beda itu (lebih luas, baca:
seksualitas). Tak dapat disangkal bahwa kisah penciptaan menunjukkannya, walau
dalam versi dan perspektif yang berbeda, namun kedua kisah penciptaan manusia
dalam kitab Kejadian (Kej. 1 dan 2) jelas melukiskan bahwa pentingnya
seksualitas manusia. Allah tak menghendaki manusia itu satu jenis yaitu
laki-laki semuanya. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk melanjutkan
tugas penciptaan yang telah dirintisNya. Seksualitas adalah unsur hakiki
manusia. Tanpa seksualitas, kelangsungan hidup manusia terancam musnah, maka
seksualitas adalah anugerah Allah, daya ilahi yang menciptakan dan bukan
bencana dan kemalangan atau beban hidup.
Seksualitas adalah baik adanya. Allah menciptakannya sebagai bagian dari proses penciptaan. Manusia hanya bisa berkembang biak karena hanya peranan seksualitas manusia. Groenen dalam bukunya “Perkawinan Sakramental” menegaskan bahwa seksualitas merupakan penyertaan dalam daya pencipta Allah (Groenen, 55; lih. Albertus P., Allah menyertai keluarga, 45). Karakter ilahiah seksualitas ini sebagai sarana untuk menciptakan manusia baru, namun seksualitas tak pernah boleh “didewakan”. Identitas kelakian dan keperempuanan sebagai makhluk seksual adalah bagian dari penciptaan dan dikehendaki Allah. Seksualitas termasuk kebaikkan Allah yang diberikan kepada seluruh ciptaanNya.
Perempuan
pada awalnya diberikan Allah kepada lelaki sebagai “penolong yang sepadan” (Kej
2: 18). Sebuah perkawinan yang ideal dalam Kejadian 2 melukiskan bahwa pasangan
manusia pertama selalu hidup bersama, saling terbuka satu sama lain, melayani,
dan melengkapi kekurangan masing-masing. Perkawinan seperti inilah yang ideal
bagi siapapun. Namun kemudiaan dosa adam dan Hawa harus dibayar mahal dengan
merosotnya kualitas relasi mereka. Mereka yang pada mulanya hidup harmonis kini
saling “melemparkan tanggungjawab”, saling menyalahkan. Adam mulai menyalahkan
Hawa (Kej 13: 12) dan sebaliknya Hawa tak mau tanggungjawab atas perbuatannya
dengan melemparkan kesalahan itu pada ular si penggoda (Kej 3: 13). Akibatnya
relasi antara pria dan wanita tidak lagi “sepadan”, tetapi yang ada adalah “dominasi”
atas pasangannya. Kesatuan antara laki-laki dan perempuan yang sebelumnya “diwarnai
dan didekorasi” dengan cinta kasih berbalasan kini hilang. Sebagai
konsekuensinya, laki-laki mendominasi perempuan, dan perempuan sangat terikat
pada suaminya (Kej 3: 16). Kesalahan yang diperbuat oleh dua pasang manusia itu
berbuah hidup yang penuh kesulitan dan derita. Adam dan Hawa ini menjadi
cerminan bagi setiap manusia. Pengalaman jatuh bangun ini adalah pengalaman
bagi setiap keluarga.
Dalam
perspektif Perjanjian Baru, “wajah keluarga yang tercemar” oleh dosa Adam dan
Hawa itu “dipulihkan” oleh hadirnya keluarga santo Yusuf dan Maria dengan bayi
kudus Yesus yang Kristus itu. Walau dunia kehidupan saat Yesus hadir di dunia berwajah
“patrialkal”, pendominasian pria, sebagai pemimpin keluarga tetap berlanjut.
Namun bahwa figur Yusuf yang tulus hati itu sungguh menghargai keperempuanan
Maria. Yusuf tak lempar tanggungjawab atas “aib” Maria, namun justru mau
“mendengar” dan “memperhatikan” penyataan diri Allah yang hadir dalam mimpinya
(Mat. 1: 18-22, lih. La Bibbia
Gerusalemme (LBG)), yang
menunjuknya sebagai “pria sejati” yang tak hanya memikirkan “harga diri” lalu
tinggalkan Maria menghadapi lemparan baru hingga tewas akibat “kehamilan yang
tak direstui” itu. Sebaliknya Maria bukan tanpa peran dalam “peng-iya-an”
rencana Tuhan. Sebagai perempuan Israel yang “merdeka” dengan keperempuanannya
sanggup menjawab “ya” terhadap proses pengkomunikasian “rencana besar” Allah
bagi manusia yang mau memakai dirinya sebagai perealisasiannya (bdk. Luk 1: 38
lih. LBG).
Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru menampilkan “gender” yang dibalut budaya namun tak pernah “menghapusnya”dan “menganggap” sesuatu yang “haram” dan “kotor” serta rendah. Tetapi sebagai dua pasangan yang mesti ada serta “bermisi” saling melengkapi dan menyempurnakan. Pria bukanlah pria kalau tak mengenal wanita, serta sebaliknya demikian juga bagaimana kita tahu itu adalah wanita tanpa memastikan adanya laki-laki. Perspektif keluarga dalam bingkai Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru senantiasa menampilkan “keutuhan keluarga” dan hanya boleh disebut keluarga jika disana ditemukan dua makhluk berbeda “jenis kelamin” itu yang dengan sadar mau mengikat diri dalam sebuah keluarga, yang disana juga ada keluarga besar, Kakek, Nenek, Paman dan Bibi, Anak dan Keponakkan serta Cucu dan Cicit yang kemudian “bermetamorfosa” dari keluarga kecil menjadi suatu bangsa yang besar. Taklah bisa dibayangkan jika gender hanya dimaknai “pria” dan hanya pria, tanpa melibatkan secara logis hadirnya padanan setara baginya yaitu “wanita”. (P. Gabriel Marcel, OFM Cap).
Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru menampilkan “gender” yang dibalut budaya namun tak pernah “menghapusnya”dan “menganggap” sesuatu yang “haram” dan “kotor” serta rendah. Tetapi sebagai dua pasangan yang mesti ada serta “bermisi” saling melengkapi dan menyempurnakan. Pria bukanlah pria kalau tak mengenal wanita, serta sebaliknya demikian juga bagaimana kita tahu itu adalah wanita tanpa memastikan adanya laki-laki. Perspektif keluarga dalam bingkai Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru senantiasa menampilkan “keutuhan keluarga” dan hanya boleh disebut keluarga jika disana ditemukan dua makhluk berbeda “jenis kelamin” itu yang dengan sadar mau mengikat diri dalam sebuah keluarga, yang disana juga ada keluarga besar, Kakek, Nenek, Paman dan Bibi, Anak dan Keponakkan serta Cucu dan Cicit yang kemudian “bermetamorfosa” dari keluarga kecil menjadi suatu bangsa yang besar. Taklah bisa dibayangkan jika gender hanya dimaknai “pria” dan hanya pria, tanpa melibatkan secara logis hadirnya padanan setara baginya yaitu “wanita”. (P. Gabriel Marcel, OFM Cap).
0 comments:
Post a Comment