PELAYANAN KASIH DALAM IMAN

Sebuah Cerpen

Pada pagi Minggu itu, seperti biasa sebelum memulai aktivitas setelah misa ku sempatkan diriku untuk membantu petugas kebersihan gereja, memeriksa bangku-bangku dari sampah-sampah tisu dan bungkus-bungkus permen, sampai ke pojok-pojok. Baris per baris bangku aku amati dengan penuh perhatian.
Tidak lama kemudian aku pun berkemas dan menempuh perjalanan jauh melewati lekak-lekuk lembah Sinam hingga sampai di Rumah Sakit Cahaya.
Pagi kian pekat diselimuti awan-awan gelap. Sesekali angin pagi berdesir. Matahari pun seakan-akan enggan untuk membagikan hangatnya. Hujan dini hari tadi seakan mengubur impian setiap orang untuk keluar dari peraduannya. Namun aku tetap dengan semangat mengayuhkan sepeda ontel tuaku menuju Rumah Sakit Cahaya (rumah sakit untuk orang gila), yang terletak di pinggiran kota Sematan. Setiap hari aku bertugas merawat dan membimbing orang gila.
Dalam sebuah penantian panjang, para pasien di sana sudah tak sabar menunggu kedatanganku, untuk mengambil jatah obat-obatan. Aku adalah seorang Saudara Dina Kapusin yang berkarya di Rumah Sakit Khusus. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, setelah berkaul kekal aku diutus Ordoku untuk berkarya di tempat yang bagi kebanyakan orang menjijikkan.
“Bluder! Bluder! Selamat pagi.” Sapa para pasien dengan vocal sumbang, yang sudah lama menunggu kedatanganku dekat gerbang sekedar untuk menyapaku sambil menebarkan senyum kepadaku. Sontak ku balas juga dengan senyum ramah.  “Halo semua. Selamat pagi. Apa kabar?”
“Baik, Bluder!” Seketika aku turunkan tas dari punggung. Lalu, para pasien bak anak ayam yang membuntutiku datang mengerumuniku, karena ada ritual yang sering kali aku lakukan kepada mereka, yaitu membagikan vitamin dan obat satu per satu sampai semua mendapatkan bagian yang sama.
Berbekal ilmu dan kesetiaan pada kepercayaan yang terpupuk sejak kecil, kurawat dan kutuntun pasienku di rumah sakit itu. Banyak hal yang dapat aku lakukan di rumah sakit itu mulai dari merawat pasien hingga mengajari mereka cara berdoa dan cara berbuat baik kepada sesama.
Tawa yang tak teratur adalah ekspresi kegilaan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. “Entah mengapa mereka begitu kumuh, dekil, dan kumal hingga membuatku merasa jijik ketika hendak merawat mereka.” Renungku dalam hati.
Keadaan ini mengingatkanku pada masa aku masih tinggal bersama dengan orang tuaku. “Untuk apa aku meninggalkan keluargaku hanya untuk merawat orang-orang gila yang kotor dan kumuh ini? Terperangkap dalam hal-hal yang bodoh dan tak berarti ketika ada kemungkinan untuk hidup dalam kesenangan? Hidup untuk orang lain dalam Rumah Sakit Jiwa? Entahlah! Rencana-Nya tak terselami. Orang-orang itu memang gila dan bodoh tapi ada kebahagiaan  sejati di situ.” Sesal dan renungku dalam hati.
Suatu ketika aku adakan tes psikologi, dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan dari proses pengobatan yang sedang berlangsung bagi pasien. Apakah mereka mengalami kesembuhan atau tidak. “Dalam tes ini, para pasien Rumah Sakit Cahaya diperkenankan untuk melukiskan apa saja yang mereka sukai,” tuturku di hadapan para pasien “Saya berharap dengan adanya tes ini saudara dan saudarai dapat secara leluasa berkarya dan mengekspresikan diri sebebas-bebasnya.”
Dengan sesuka hati para pasien asyik menunjukkan kehebatan mereka dalam rupa gambar. Setelah tes selesai, mereka mengikutiku ke biara bruderan yang terletak di belakang rumah sakit itu.
“Selamat siang, Saudara. Silakan masuk.” Dengan ramahnya seorang Bruder muda menyapa dan mempersilahkanku masuk. Sementara para pasien yang ikut tes ikut masuk sampai tempat duduk yang tersedia tidak cukup. Biara itu pun penuh sesak. Bahkan, pasien-pasien lainnya duduk di teras depan biara bahkan di halaman belakang biara.
Panitia tes yang adalah para psikolog berembuk sebentar, dilanjutkan dengan pengumuman yang lulus dari tes itu. Tidak lama berselang, aku umumkan hasil dari tes itu, menyatakan bahwa Saiful adalah orang pertama yang lulus dari tes itu.
Tanpa diduga bahwa yang digambar Saiful adalah gambar Tuhan Yesus yang sedang menggendong seekor domba. “Lukisan ini kupersembahkan buat Yesus, Gembala yang baik dan yang selalu menjaga, melindungi, dan mengasihi semua orang.” Kata Saiful yang kelihatan bergembira menggenggam surat hasil lulus tes jiwa. “Pasti Tuhan Yesus senang melihat lukisanku. Terima kasih,” sambung Saiful haru (Saiful bukanlah umat Katolik).
“Selamat ya kepada Saiful. Saudara-saudari yang belum mendapatkan surat lulus dari tes sehat jiwa tidak usah sedih dan kecewa. Masih ada kesempatan di lain waktu,” ungkapku menyemangati mereka. “Ayo, mari kita lanjutkan dengan pembagian obat dan meminumnya supaya lekas sembuh.” Di sela-sela kegiatan itu, mereka menyanyikan lagu-lagu rohani sambil bertepuk tangan.
Sore harinya, dengan sepeda ontel tuaku aku kembali ke biara. “Serasa ini perjalanan tak berujung,” ia merenung sambil bersiul.  “Andaikan aku seorang peziarah, tiada hari tanpa menghitung jejak suara alam, tiada hari tanpa syair doa kehidupan, dan tiada hari tanpa kisah di Rumah Sakit Cahaya ketika melihat pancaran tawa ria dari domba-domba yang hilang.”
Karena kecapaian ku pelankan dayung ontelku. Sejenak aku terdiam menikmati indahnya alam di rembang petang dan melihat pohon-pohon rindang dan burung-burung gereja yang bercecit besahut-sahutan di dahan pohon akasia. Dia mengangkat kepalanya memperhatikan burung-burung itu secara seksama. Kemudian, aku melanjutkan perjalananku sampai tiba di sebuah gereja tua yang dibangun misionaris Belanda tempo dulu.
Biara masih sepi. Frater dan pastor lainnya belum kembali dari tugas kerasulan pastoral mereka. Kali ini hanya aku yang pulang lebih awal untuk mempersiapkan pesta pengikraran kaul perdana ke tujuh saudara mudaku esok harinya.
Pada saat mempersiapkan perayaan pengikraran kaul, pikiranku masih membayangkan wajah-wajah dekil dan kumal itu, yang berebutan mendapatkan vitamin dan obat-obatan seperti prilaku anak-anak tanpa ada rasa malu.
Sulit bagiku tuk melupakan pasien-pasien di Rumah Sakit Cahaya begitu saja yang hanya tiga kali dalam seminggu bertemu, merawat, dan melayani mereka. mereka memang orang-orang gila, namun di wajah mereka memancarkan kedamaian. Pemahaman mereka tentang Yesus sangat mendalam, terungkap dalam gambar yang mereka lukiskan pada saat tes. Di balik lukisan Yesus menggendong seekor domba hendak mengungkapkan ada kedamaian, dan kasih bagi setiap.
Aku merasa jatuh cinta pada tempat karyanya. Para pasien sangat mengasihiku. Saat perayaan pengikraran kaul berlangsung, untuk melepas rasa rindu kepada pasien, aku selalu mendoakan mereka. Dengan tekun, selalu mendoakan kesembuhan bagi para pasienku kepada sang Gembala yang baik dan kepada Bunda Maria yang selalu mendoakan, memperhatikan dan melindungi anak-anaknya.
Para pasien sungguh membutuhkan perhatian. Tanpa kasih dan perhatian karya pelayanan tidak menyentuh dan menyapa mereka. Tindakan kasih, yang tumbuh dari pengalaman mengucapkan, merasakan, menghayati, dan membagikan kasih, lebih bermakna dari pada sekedar kata-kata.
Selama bertahun-tahun, dengan kesabaran yang luar biasa dan tak kenal lelah dan putus asa aku merawat pasien-pasienku, dan mengajarkan mereka tentang kasih dari Allah yang tak terbatas. Dengan gayaku yang khas aku pun memperkenalkan Tuhan seperti itu. 
Usahaku tidak sia-sia, perlahan-lahan sakit yang dialami pasiennya mulai membaik dan mereka mulai mengenal Tuhan yang diajarkan dan diimani dengan baik oleh aku sendiri. Cukup banyak di antara mereka yang setelah sembuh menjadi umat katolik yang baik.
Cinta kasih yang tulus, kerendahan hati, dan doa  menjadi dasar pelayanan kasih yang aku berikan. Tanpa itu semua aku tidak mampu memberikan pelayanan secara total, tulus dan penuh kasih kepada orang lain “orang gila”.
Seorang pelayan cinta kasih Tuhan yang baik harus rendah hati dan harus menimba kekuatan dari Tuhan Yesus Kristus sendiri melalui doa. Tanpa berdoa kekuatan manusiawi kita tidak berdaya sedikit pun. Doa adalah awal dan akhir, asal dan hasil, inti dan isi, dasar dan tujuan semua usaha penciptaan pelayanan yang total, penuh kasih dan rendah hati. kesanggupan untuk melayani dengan kasih dan kerendahan hati adalah rahmat karunia ilahi, karunia yang hanya dapat diperoleh dalam doa. (Fr. Masseo Clinton OFMCap).

Jl. Pasar Baru – Sinaksak
Kotak Pos 168
Pematangsiantar 21101

Share on Share on Google Plus

About Unknown

Kami adalah para saudara Kapusin yang tinggal di Rumah Novisiat Kapusin Pontianak di Poteng, Singkawang. Kami membuat blog ini karena kami ingin berbagi nilai-nilai kemanusiaan, kekatolikan dan juga kefransiskanan kepada semua saja yang berminat atau tertarik untuk mempelajari dan mendalaminya. Harapan kami, tulisan-tulisan yang ada di blog ini dapat berguna untuk menambah wawasan keimanan kita semua.

0 comments:

Post a Comment