ST FRANSISKUS DARI ASSISI: TELADAN KESETARAAN MANUSIA

Manusia di samping makhluk individual, ia juga makhluk sosial. Pada masyarakat Barat zaman dahulu, individu hanya dilihat sebagai suatu unsur masyarakat tanpa arti tersendiri. Namun berkat pemikiran rasional, akhirnya individu menuntut pembebasan diri dari kungkungan masyarakat itu. Bahkan individu kemudian dilihat sebagai nilai tertinggi dalam masyarakat. Orang berpendapat bahwa hanya dengan individu yang memiliki kebebasan penuhlah maka tercipta kemajuan. Maka di Eropa lahirlah apa yang dinamakan individualisme. Bersamaan dengan itu, timbullah pemikiran bahwa seluruh orang di dunia adalah setara/sama dan bersaudara. Semangat inilah yang kemudian mendorong terjadinya Revolusi Prancis (1789) dengan semboyannya yang terkenal Liberte, Egalite, Fraternite (Kebebasan, Kesetaraan atau Kesamaan dan Persaudaraan). 

Allah, Persaudaraan dan Kesetaraan


Jauh sebelum revolusi Prancis, Fransiskus dengan diinspirasikan oleh ajaran dan teladan Yesus juga telah menghidupi kesetaraan itu. Dengan kesetaraan di sini yang dimaksud adalah semua orang pada hakikatnya mempunyai martabat dan kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Bahwa di sana sini dalam kehidupan masyarakat ada perbedaan status sosial, jabatan, kedudukan atau kuasa, itu lebih merupakan perbedaan fungsi dan bukan perbedaan dalam martabat kemanusiaan.

Kalau semangat kesetaraan ini dihidupi, maka konsekuensinya – sebagaimana  dapat digali dalam Injil Matius – paling tidak ada dua. Pertama, semua manusia harus dipandang sebagai saudara. Yesus berkata, “Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara” (Mat. 23:8). Dasar dari hidup persaudaraan di antara sesama manusia ini menurut Fransiskus adalah kenyataan iman, bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah yang satu dan sama, yakni Allah Bapa di surga.

Kesadaran Fransiskus akan kebapaan ilahi, yang ia pelajari dari Yesus nampak dalam doa-doanya yang hidup dan realistis. Jika kamu berdiri untuk berdoa (Mrk. 11:25), katakanlah: Bapa kami yang ada di surga (Mat. 6:9). ... kamu semua adalah saudara; janganlah menyebut siapa pun bapa untuk kamu di bumi ini, karena Bapamu hanya satu, yang ada di surga (Mat. 23:8-9). ... di mana pun dua atau tiga orang telah berkumpul dalam nama-Ku, Aku hadir di tengah-tengah mereka (Mat.28:20) (AngTBul pasal XXII).

Berasas pada Kristus, “yang sulung di antara banyak saudara” (Rm. 8:29), Fransiskus memimpikan, bahwa persaudaraan yang dibentuknya adalah persaudaraan yang mempersatukan manusia dalam cinta akan Bapa yang sama. Persaudaraan semacam menurut Fransiskus telah diteladankan oleh Yesus sendiri  sebab Ia “telah mempertaruhkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya” (Yoh. 10:15) dan mendoakan kita pada Bapa, katanya: “Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, mereka yang telah Engkau berikan kepada-Ku” (2SurBerim, ay.56-57). Persaudaraan rohani yang telah diteladankan Yesus ini menjadi mungkin karena persaudaraan ini dipadukan dan dipersatukan oleh karya Roh Kudus. Dari persaudaraan yang didasarkan atas Kristus ini jelaslah, bahwa persaudaraan Fransiskus hendak mengikuti model hidup apostolik: membawa Injil ke dunia dengan kesaksian hidup dan kata-kata, dalam kondisi hidup yang telah dirintis oleh Yesus untuk para Rasul (Mat. 10:5-42).

Konsekuensi kedua, manusia diundang untuk hidup dalam kerendahan hati dan menjauhkan diri dari sikap  sombong dan keangkuhan diri, sebab “barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barang siapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Mat. 23:12).

Semangat kerendahan hati Kristus ini bukanlah hanya sekedar pengajaran untuk para murid-Nya, tetapi Ia sendiri menghidupi semangat perendahan diri itu sebagai gaya hidup-Nya, sehingga Paulus dalam Suratnya kepada jemaat di Filipi mengatakan, bahwa “Kristus walaupun memiliki keserupaan dengan Allah, namun Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, 2:11 dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Flp. 2:5-11).

Sikap perendahan diri Kristus inilah yang menyebabkan Fransiskus juga hidup dalam perendahan diri, minoritas, kedinaan, semangat untuk menempatkan dirinya lebih rendah di hadapan sesama. Bukan karena ia memiliki semangat minder atau rendah diri, tetapi karena ia mempunyai semangat yang besar untuk melayani, semangat untuk mencuci kaki para saudaranya, khusus mereka yang miskin, karena di sana Ia melihat wajah Kristus yang berseru kepadanya, “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40).

Untuk mempertahankan kerendahan inilah Fransiskus dulu tidak mau ditahbiskan menjadi imam. Ia mau tetap tinggal sebagai diakon. Juga karena alasan itulah maka Fransiskus dulu melarang saudaranya menceritakan kemartiran saudara yang pertama, agar jangan dengan itu mereka mencari pujian dan kemuliaan.

Menghayati Hidup dalam Kesetaraan


Diinspirasikan oleh St. Fransiskus yang telah menghidupi semangat kesetaraan di antara manusia, kita bisa bertanya diri, “Bagaimana kita dapat mewujudkan semangat kesetaraan ini juga di dalam hidup kita masing-masing?”

Pertanyaan ini kiranya relevan dengan situasi dunia kita, sebab di belahan dunia ini semangat kesetaraan masih banyak belum dihayati oleh manusia. Kita masih mendengar adanya diskriminasi pekerjaan, karena warna kulit, jenis kelamin, agama dan suku. Kita juga sering mendengar istilah human trafficking (perdagangan manusia), suatu perbudakan baru dalam masyarakat modern, yang melihat manusia bukan sebagai makhluk bermartabat, tetapi hanya melihatnya sebagai komoditi, barang-barang yang dapat diperjualbelikan. Akibatnya di sini orang-orang miskin (lagi-lagi orang miskin), khususnya perempuan sering ditipu dengan iming-iming mau dipekerjakan, tetapi dalam kenyataan dipekerjakan di tempat-tempat pelacuran.

Melihat kenyataan ini, kita kembali ke pertanyaan awal, bagaimana kita dapat mewujudkan semangat kesetaraan dalam masyarakat kita? Apa yang dapat kita lakukan? Ada beberapa jawaban yang dapat kita pikirkan. Pertama, di manapun kita berada kita harus memupuk sikap hormat kepada sesama, tanpa membeda-bedakan mereka. Misalnya saja dalam pergaulan; kita perlu berteman dengan semua kalangan dan tidak hanya memilih teman yang seagama atau setingkat dalam status sosial kita. Dalam merekrut karyawan, kita hendaknya mencari karyawan yang profesional dan bukan mencari karyawan hanya karena sesuku atau seperguruan saja. Dalam hal antre tiket, belanja atau yang lain, hendaknya kita mau mengikuti antrean sesuai dengan urutannya dan bukannya menyerobot hak-hak orang, supaya kita didahulukan. Itulah beberapa contoh yang bisa kita lakukan agar kita dapat sungguh menghormati sesama kita, menghargai kesetaraan yang ada pada sesama kita.

Kedua, dalam semangat kesetaraan kita perlu berusaha untuk membasuh kaki satu dengan yang lain; semangat untuk melayani saudara-saudari kita. Misalnya saudara yang lebih pandai dalam hal belajar atau memiliki keterampilan tertentu berusaha menolong saudara atau temannya yang lemah dalam belajar dan membantu yang lain agar dapat mengerjakan pekerjaannya dengan lebih baik. Kita yang sehat, seharusnya juga menolong yang sakit dan memperhatikan perawatan dan pengobatan mereka. Dan masih banyak contoh yang dapat kita lakukan untuk menunjukkan semua orang adalah setara. Semua orang adalah penting bagi kita.

Fransiskus selama kehidupan telah memperlakukan sesamanya dengan setara dan hormat, khususnya kepada orang kusta dan mereka yang dianggap miskin dalam masyarakat. Itu semua dilakukan karena ia menyadari, semua manusia dan alam ciptaan diciptakan oleh Allah Bapa yang satu dan sama dan ia mau mengikuti Yesus yang dalam kekayaan-Nya mau merendahkan diri, agar kita kaya berkat kemiskinan-Nya. Apakah kita sebagai orang beriman kristiani dan pencinta-pencinta St. Fransiskus dapat juga mengikuti contoh dan teladan kesetaraan yang diberikannya? (F.Cahyo Widiyanto).
 
Share on Share on Google Plus

About Unknown

Kami adalah para saudara Kapusin yang tinggal di Rumah Novisiat Kapusin Pontianak di Poteng, Singkawang. Kami membuat blog ini karena kami ingin berbagi nilai-nilai kemanusiaan, kekatolikan dan juga kefransiskanan kepada semua saja yang berminat atau tertarik untuk mempelajari dan mendalaminya. Harapan kami, tulisan-tulisan yang ada di blog ini dapat berguna untuk menambah wawasan keimanan kita semua.

0 comments:

Post a Comment