ADA CERITA DARI PANTI LEPRA

“Ada Cerita dari Panti Lepra”
Oleh: Sdr. Angelo Seltinus, OFMCap

“Pandanglah ke kanan dan lihatlah, tidak ada seorangpun yang menghiraukan aku;
tempat pelarian bagiku telah hilang, tidak ada seorangpun yang mencari aku.” 
(Mzm. 142:5)

Pada pagi yang cerah, tanggal 14 November 2016, Para Frater Novis Kapusin menginjakkan kaki di komplek Rumah Sakit Khusus untuk Orang Kusta, “Alverno”. Kami tiba dengan perasaan yang bercampur aduk, antara senang dan bimbang. Senang karena kami boleh mendapatkan kesempatan untuk bertemu langsung dengan orang-orang yang terkena penyakit kusta. Seperti St. Fransiskus yang juga punya pengalaman khusus tentang perjumpaannya dengan orang kusta begitupun kami langsung berjumpa dengan mereka. Kami bimbang karena kami di sini tidak hanya untuk bertemu, tetapi untuk berinteraksi langsung dan hidup bersama mereka selama satu pekan.

Kedatangan kami pagi itu disambut baik oleh suster dan para perawat di tempat itu. Kami pun mulai berkenalan. Mula-mula dengan para perawat, kemudian dengan lingkungan dan tata tertib di tempat ini, dan tentu saja dengan para pasien penderita kusta. Kami menempati dua ruang kamar untuk istirahat dan menyimpan barang pribadi. Setiap kamar diisi oleh empat frater. Letak kamar kami ini sungguh strategis di ujung, dari situ kami bisa mengamati hampir seluruh bangsal di rumah sakit.

Hari pertama tidak ada agenda pasti. Kami pun memutuskan untuk berkeliling dan berkenalan lebih jauh. Awal mulanya saya masih agak canggung saat bertemu mereka, apalagi saat harus bersentuhan langsung, ada rasa yang janggal ketika saya harus bersalaman dengan orang-orang yang bahkan tidak punya jari tangan. Apalagi beberapa dari mereka, pada bekas jari-jarinya masih terdapat luka. Rasanya saya ingin segera pergi dan mencuci tangan dari darah kotor yang lengket di tangan saya.

Untuk menenangkan diri, saya lalu berimajinasi. Saya membandingkan penampilan fisik mereka dengan karakter-karakter di film dan game yang dulu sering saya mainkan. Ada yang seperti zombie dalam Plants vs Zombies, ada yang seperti bapak-bapak di gim GTA (Grand Theft Auto: San Andreas) dan macam-macam karakter lain yang membuat saya jadi tertawa kecil di dalam hati (ohh jahat sekali saya ini). Sampai-sampai pada pikiran yang paling liar, saya merasa jadi orang paling ganteng di komplek sini. Hahaha...

Serius, begitulah keadaan mereka. Banyak di antara mereka harus memakai kursi roda karena kaki dan tangannya sudah teramputasi. Kalaupun masih punya kaki, umumnya sudah tidak sempurna, tidak ada jarinya, bengkok, lumpuh atau paling tidak kakinya sudah tidak bisa merasa. Jadi kalau mereka berjalan, kadang terlihat pincang seperti karakter-karakter zombie. Apalagi wajah mereka juga sedikit berubah, tidak ada bulu mata, dinding pembatas lubang hidungnya bolong, lalu postur tubuh mereka cenderung bungkuk dan buncit, dan wajah mereka kadang menunjukkan ekspresi yang sulit ditebak, juga gestur-gestur yang terlihat janggal. Dibalik semua itu, mereka sungguh orang-orang yang ramah dan baik.  Diantara yang berkursi roda ada seorang bapak yang sedikit istimewa, kursi rodanya pakai mesin. Konon, kursi roda itu pemberian dari seorang pastor. Bapak ini seorang muslim yang sangat rajin sholat. Setiap waktu sholat beliau dengan kursi-roda-mesinnya tiba di mesjid yang letaknya agak jauh dari komplek Alverno. Tentu bukan hal yang mudah untuk dia lakukan.

Mereka yang eks-kusta, eh bukan... kata ibu perawat ada aturan pemerintah tidak boleh pakai istilah itu, tapi pakai istilah OYPMSK (Orang yang pernah menderita sakit kusta) setelah sembuh banyak yang tidak pulang ke rumah. Mereka diperkenankan untuk tetap tinggal di komplek Alverno yang luas itu atau di komplek khusus OYPMSK, salah satunya di Pakunam. Hal yang pasti membuat kita kagum, mereka tinggal di sana dan bekerja membuat kebun, bukan kebun yang "olok-olok" atau tanggung-tanggung, tapi benar-benar kebun yang luas. Berbagai macam sayur dan buah mereka tanam di sana. Sebagian hasilnya mereka jual ke dapur umum atau untuk konsumsi sendiri, dan sebagian lainnya mereka jual ke luar. Dari hasil kebun inilah mereka hidup. Sungguh perjuangan yang luar biasa, mengingat mereka tidak punya jari-jari tangan. Satu hal lain yang membuat saya kagum pula, rasa persaudaraan mereka, senasib-sepenanggungan, mereka seolah bersatu. Mereka hidup saling membantu dan saling melayani sejauh kemampuan mereka. Yang masih bisa berjalan membatu mendorong kursi roda. Yang masih punya jari tangan membantu menyuap makanan ke  mulut yang lain. Cara hidup mereka sungguh amat sederhana namun berguna bagi sesamanya. Hal semacam ini tidak mudah lagi kita temukan bahkan mungkin tidak terpikirkan oleh orang-orang yang ‘normal’ di luar sana. Mereka yang masih produktif juga banyak yang menikah dengan sesama mantan penderita kusta. Anak-anak mereka sehat-sehat, normal dan pula cantik-cantik serta tampan. 

Waktu terus berjalan, Jadwal Harian kami di tempat ini sedikit disesuaikan situasi konkret. Kami awali hari dengan Ibadat Pujian di Pagi Hari (Laudes) di sebuah Gereja kecil yang letaknya tepat di depan Susteran. Pagi-pagi begitu burung-burung kecil sudah bertengger di dahan pohon dekat jendela gereja, kicauan mereka seolah ikut berrnyanyi, mendaras mazmur bersama kami memuji Tuhan. Ahh, semakin seperti Fransiskus saja kami ini, pikirku. Setelah ibadat, para frater mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang berkeliling menyapa para penghuni bangsal. Tidak lupa menggunakan kalimat singkat “sao ann ko/sao ann ce” untuk menyapa pasien yang Tionghoa. Saat itu kami juga belajar bahasa Kek, bahasa suku Hakka (Tionghoa) yang menjadi mayoritas pasien di sana, secara pribadi saya banyak belajar bahasa ini dari seorang tua yang biasa kami panggil sebagai Kek Alun. Para frater yang lain ada yang bantu-bantu menyapu koridor. Ada yang mandi dan ada pula yang sibuk di Ruang Instalasi Gizi (dapur) membantu menyiapkan sarapan untuk kami karena sebetulnya pasien di sini hanya makan dua kali sehari. Pagi pukul 9 dan sore pukul 16. Tentu kami tidak mengikuti jadwal makan itu karena tidak terbiasa. Maka kami tetap ambil makanan di dapur jam segitu, tetapi menyantap makanannya seperti jadwal di biara.

Pembagian kerja harian dibagi atas tiga pos. Empat orang bekerja di kebun. Dua orang bekerja di bangsal, menyapu, merapikan dan mengepel ruang bangsal plus koridor dan lorongnya. Dua orang bertugas di Poli (poliklinik), membagi obat, mengantar pasien yang berkursi roda ke bangsal dan yang paling seru: kami mengganti perban pasien, tentunya didampingi oleh para perawat, mengingat kami semua tidak punya latar belakang medis. Pasien yang masih perlu diganti perbannya tidak terlalu banyak. Kebanyakan lukanya sudah tidak terlalu mengerikan seperti yang kami lihat di album foto lama. Hanya, bau bekas luka sungguh tidak sedap. Kira-kira baunya mirip bau kotoran tokek yang sering saya sapu ketika di biara. Celakanya, kami tidak diberi masker dan sarung tangan seperti para perawat lainnya. Uhh, kakak perawatnya nggak peka. Hahaha... Oh ya, diluar itu, yang kerja di Poli juga bertugas menyuap dan memandikan Ase, seorang pasien yang tidak hanya terkena Kusta, tapi juga menderita Parkinson, sehingga ia selalu bergerak-gerak membentuk gestur yang aneh. Ia tidak bisa diam bahkan saat tidur sekalipun.

Jadwal kami ketika di Alverno memang tidak terlalu padat. setelah bekerja di pagi hari, kami akhiri kegiatan itu dengan Ibadat Siang dan setelah itu disambung dengan makan siang. Sore hari sebetulnya kami semua dijadwalkan bekerja di kebun. Tetapi itu tidak berjalan lancar karena berbagai hal. Salah satunya karena cuaca yang tidak mendukung. Daripada menganggur, kami disarankan oleh Sr. Yosepha untuk membersihkan kamar kosong yang kotor dan gudang yang letaknya disebelah kamar kami. Sungguh, dua kamar ini benar-benar kotor. Maklum, selama ini  memang tidak ada penghuninya, kata Sr. Yosepha. Setiap sore, kalau cuaca mendukung juga, tiga orang dari kami diajak oleh Pak Dom, seorang perawat di sana, untuk pergi ke Pakunam, yaitu sebuah komplek khusus untuk mantan pasien Alverno yang sudah benar-benar bisa mandiri. Kalau ada waktu luang, kami berpencar berinteraksi dengan para pasien. Mereka senang bercerita, "curhat" tentang apa saja. Sebagian cerita terdengar lucu, sebagian membuat kita bosan, dan terkadang  bisa menyentuh hati kita.

Katanya beberapa waktu lalu ada seorang perawat wanita yang bekerja di sini. Dia berada di sini tidak lama, tidak sampai satu bulan. Ceritanya, orang tua perawat ini langsung menjemputnya tatkala mengetahui bahwa anaknya bekerja di sini. Mereka malu dan waswas kalau anaknya bekerja di Rumah Sakit yang seperti ini. Akhirnya ya, ia dijemput paksa oleh Ayahnya. Padahal, kata pasien yang cerita kepada saya, perawat ini sungguh baik dan perhatian dengan para pasien. Rupanya penyakit ini masih dianggap sebagai aib oleh masyarakat.

Ada beragam cerita yang mereka sampaikan. Satu yang menurutku lucu, ketika seorang kakek yang konon pasien paling senior di sini, beliau tinggal di Alverno sejak usianya masih belasan tahun, curhat kepadaku. Katanya, ia merasa sedih, sekarang sudah sepi, padahal dulu pasien di sini ada banyak sekali, mencapai ratusan orang, sekarang mereka sudah banyak yang pulang ke rumah, juga sudah banyak yang pulang ke ‘tanah’. Wah, kalau begitu bagus dong, artinya orang yang terkena kusta semakin sedikit, pikirku. Ternyata jalan pikir mereka tidak seperti itu. Mereka kesepian. Perhatian dan teman, itulah yang benar-benar mereka butuhkan. Secara fisik mereka memang sudah tidak luka, tetapi ternyata hati mereka masih belum bisa menerima kenyataan hidup mereka. Tentang hal ini saya lihat sendiri, ketika ada kunjungan dari salah satu kelompok umat dari kota. Mereka saya kira datang untuk mengunjungi orang-orang kusta di RSK Alverno. Tetapi rupanya mereka hanya datang untuk memberikan sumbangan sembako. Mereka tidak berinteraksi dengan pasien. Hanya ada beberapa orang yang berkeliling, itu pun untuk berfoto. Pastilah para pasien merasa sangat tersinggung.

Selama di tempat ini, saya merenungkan betapa lemahnya hidup manusia. Mereka yang datang ke tempat ini mungkin dulunya orang-orang hebat, sehat, gagah. Namun kuman kusta (mircobacterium leprae) yang bentuknya bahkan tak kasat mata, mampu merubah hidup mereka. Kutipan Mazmur yang saya tempel di awal tulisan ini saya rasa sangat relevan menggambarkan hidup mereka sekarang. Saat mereka diketahui terkena kusta, mereka segera dibuang, dijauhi. Mereka dikirim ke rumah sakit ini, mereka mulai dilupakan. Tidak sedikit dari antara mereka yang mencoba kembali kepada keluarganya, tetapi mereka ditolak, tidak dianggap sebagai anggota dari sebuah keluarga lagi. Nilai keutamaan yang saya temukan dari mereka, mereka tidak menyerah dengan keadaan mereka. Penyakit yang mereka derita tidak berarti akhir hidup bagi mereka, mereka tetap tegar menjalani hidup. Mereka membuktikan bahwa hidup mereka masih bisa berguna, mereka tidak hidup hanya sekedar untuk menanti kematian. Saya jadi ingat dengan kisah dari Kitab Suci, tentang kisah Ayub yang tetap tegar, setia kepada Tuhan, sekalipun segala yang ada darinya diambil, ia pun terkena penyakit kusta. Kisah mereka membuat saya lebih yakin, bahwa Tuhan memang tidak pernah meninggalkan ciptaanNya. Dia hadir melalui para malaikat tanpa sayap, yakni orang-orang sekitar kita. Kutipan Mazmur yang tertera di akhir tulisan ini pun menjadi jawaban atas kutipan yang saya ketik di awal tulisan ini.

Saya kemudian juga kagum dengan para perawat di tempat ini. Secara khusus para suster misionaris Belanda yang merintis rumah sakit ini. Pengabdian mereka untuk orang-orang tak berdaya. Pelayanan mereka terhadap orang-orang yang terlantar, bahkan orang yang sengaja dibuang oleh keluarganya. Mereka tidak takut akan stigma negatif tentang orang-orang kusta, mereka tidak takut akan tertular. Mereka merelakan diri membagi sebagian dari hidupnya untuk memberikan perhatian, cinta, kasih dan bantuan bagi para pasien, saya kira perhatian mereka juga menjadi salah satu sumber semangat bagi para pasien untuk menjalani hidup. Mengalami hidup bersama mereka membuat saya lebih memahami pengalaman pribadi St. Fransiskus sendiri. Seperti yang ia tulis dalam wasiatnya. “Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan. Ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Tetapi Tuhan sendiri mengantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Dan setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan.”  

Sepekan rupanya bukanlah waktu yang lama. Masa live in kami di Alverno sudah selesai. Kami harus segera kembali ke biara untuk melanjutkan masa pendidikan kami. Banyak pengalaman dan kesan yang kami dapatkan. Tentu tidak semuanya bisa tertuang dalam tulisan ini. Namun yang paling penting adalah bahwa hidup sepekan bersama orang kusta di sini, sungguh menguatkan saya dalam menjalani panggilan saya sebagai seorang Fransiskan Kapusin. Menumbuhkan semangat saya untuk melayani Kristus dalam diri orang-orang yang lemah, orang-orang yang diabaikan oleh orang lain.

Mobil yang dikemudikan Pater Agus dan Bruder Vincent sudah datang. Kami pun mulai berjalan ke parkiran dimana kami akan berangkat kembali ke Poteng. Kami kini melangkahkan kaki dengan lebih yakin, diiringi oleh doa dan harapan oleh mereka yang sepekan ini kami layani. Selamat tinggal saudara-saudariku di Alverno. Phin a choi shau lee....

“Aku senantiasa memandang kepada TUHAN; 
karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah.” 
(Mzm. 16:8)

Share on Share on Google Plus

About Unknown

Kami adalah para saudara Kapusin yang tinggal di Rumah Novisiat Kapusin Pontianak di Poteng, Singkawang. Kami membuat blog ini karena kami ingin berbagi nilai-nilai kemanusiaan, kekatolikan dan juga kefransiskanan kepada semua saja yang berminat atau tertarik untuk mempelajari dan mendalaminya. Harapan kami, tulisan-tulisan yang ada di blog ini dapat berguna untuk menambah wawasan keimanan kita semua.

1 comments: