SUATU SUKACITA KETIKA KEDUANYA “ADA DAN SETARA”


"Natal telah tiba-natal telah tiba hatiku gembira!", demikian syair sebuah lagu yang bernuansa natal. Kalau berbicara tentang masa itu maka tak dapat disangkal bahwa suasana kegembiraan, keceriaan memenuhi hati setiap insan, karena  ia senantiasa membawa harapan baru; sebagai perbandingan bahwa kini hadir manusia baru, anggota keluarga baru, hadir kini bayi mungil, suara tangis pecahkan kesunyian dan kebisuan yang telah lama berlangsung dalam keluarga. Komunikasi yang bisa jadi “putus” karena penantian yang panjang akan kehadiran makhluk baru bernama “bayi” kini menyambung hati yang telah jauh dan berjarak selama ini, yang hambar jadi “berasa”, tiada kesesakkan hati lagi, namun yang ada kini ganti keyakinan pasti menyonsong masa depan, ada generasi penerus bagi “nama keluarga”, harta keluarga kini ada pewarisnya. Si pria dengan bangga menyandang gelar “ayah” bagi si anak, dan tak kalah bahwa si gadis kini “seorang ibu”. Kepriaan kini “terbukti” dan sebaliknya “keibuan” menjadi terpatri lestari.
          
Suasana keceriaan dan kegembiraan begitulah “natal” digambarkan dalam Keluarga Kudus Nazaret dalam pandangan umum. Kita mengetahui bahwa  sedikit sekali yang melukiskan bahwa “natal” (latin: natus, Lahir, kelahiran) itu hanya mungkin karena keberadaan dua makhluk ciptaan Tuhan: “pria dan wanita”. Alangkah mustahil muncul cerita Keluarga Kudus Nazaret (KKN) tanpa kehadiran dua makhluk yang secara “gender” berjenis kelamin beda itu (lebih luas, baca: seksualitas). Tak dapat disangkal bahwa kisah penciptaan menunjukkannya, walau dalam versi dan perspektif yang berbeda, namun kedua kisah penciptaan manusia dalam kitab Kejadian (Kej. 1 dan 2) jelas melukiskan bahwa pentingnya seksualitas manusia. Allah tak menghendaki manusia itu satu jenis yaitu laki-laki semuanya. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk melanjutkan tugas penciptaan yang telah dirintisNya. Seksualitas adalah unsur hakiki manusia. Tanpa seksualitas, kelangsungan hidup manusia terancam musnah, maka seksualitas adalah anugerah Allah, daya ilahi yang menciptakan dan bukan bencana dan kemalangan atau beban hidup.
          
Seksualitas adalah baik adanya. Allah menciptakannya sebagai bagian dari proses penciptaan. Manusia hanya bisa berkembang biak karena hanya peranan seksualitas manusia. Groenen dalam bukunya “Perkawinan Sakramental” menegaskan bahwa seksualitas merupakan penyertaan dalam daya pencipta Allah (Groenen, 55; lih. Albertus P., Allah menyertai keluarga, 45). Karakter ilahiah seksualitas ini sebagai sarana untuk menciptakan manusia baru, namun seksualitas tak pernah boleh “didewakan”. Identitas kelakian dan keperempuanan sebagai makhluk seksual adalah bagian dari penciptaan dan dikehendaki Allah.  Seksualitas termasuk kebaikkan Allah yang diberikan kepada seluruh ciptaanNya.
            
Perempuan pada awalnya diberikan Allah kepada lelaki sebagai “penolong yang sepadan” (Kej 2: 18). Sebuah perkawinan yang ideal dalam Kejadian 2 melukiskan bahwa pasangan manusia pertama selalu hidup bersama, saling terbuka satu sama lain, melayani, dan melengkapi kekurangan masing-masing. Perkawinan seperti inilah yang ideal bagi siapapun. Namun kemudiaan dosa adam dan Hawa harus dibayar mahal dengan merosotnya kualitas relasi mereka. Mereka yang pada mulanya hidup harmonis kini saling “melemparkan tanggungjawab”, saling menyalahkan. Adam mulai menyalahkan Hawa (Kej 13: 12) dan sebaliknya Hawa tak mau tanggungjawab atas perbuatannya dengan melemparkan kesalahan itu pada ular si penggoda (Kej 3: 13). Akibatnya relasi antara pria dan wanita tidak lagi “sepadan”, tetapi yang ada adalah “dominasi” atas pasangannya. Kesatuan antara laki-laki dan perempuan yang sebelumnya “diwarnai dan didekorasi” dengan cinta kasih berbalasan kini hilang. Sebagai konsekuensinya, laki-laki mendominasi perempuan, dan perempuan sangat terikat pada suaminya (Kej 3: 16). Kesalahan yang diperbuat oleh dua pasang manusia itu berbuah hidup yang penuh kesulitan dan derita. Adam dan Hawa ini menjadi cerminan bagi setiap manusia. Pengalaman jatuh bangun ini adalah pengalaman bagi setiap keluarga.

Dalam perspektif Perjanjian Baru, “wajah keluarga yang tercemar” oleh dosa Adam dan Hawa itu “dipulihkan” oleh hadirnya keluarga santo Yusuf dan Maria dengan bayi kudus Yesus yang Kristus itu. Walau dunia kehidupan saat Yesus hadir di dunia berwajah “patrialkal”, pendominasian pria, sebagai pemimpin keluarga tetap berlanjut. Namun bahwa figur Yusuf yang tulus hati itu sungguh menghargai keperempuanan Maria. Yusuf tak lempar tanggungjawab atas “aib” Maria, namun justru mau “mendengar” dan “memperhatikan” penyataan diri Allah yang hadir dalam mimpinya (Mat. 1: 18-22, lih. La Bibbia Gerusalemme (LBG)), yang menunjuknya sebagai “pria sejati” yang tak hanya memikirkan “harga diri” lalu tinggalkan Maria menghadapi lemparan baru hingga tewas akibat “kehamilan yang tak direstui” itu. Sebaliknya Maria bukan tanpa peran dalam “peng-iya-an” rencana Tuhan. Sebagai perempuan Israel yang “merdeka” dengan keperempuanannya sanggup menjawab “ya” terhadap proses pengkomunikasian “rencana besar” Allah bagi manusia yang mau memakai dirinya sebagai perealisasiannya (bdk. Luk 1: 38 lih. LBG). 

Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru menampilkan “gender” yang dibalut budaya namun tak pernah “menghapusnya”dan “menganggap” sesuatu yang “haram” dan “kotor” serta rendah. Tetapi sebagai dua pasangan yang mesti ada serta “bermisi” saling melengkapi dan menyempurnakan. Pria bukanlah pria kalau tak mengenal wanita, serta sebaliknya demikian juga bagaimana kita tahu itu adalah wanita tanpa memastikan adanya laki-laki. Perspektif keluarga dalam bingkai Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru senantiasa menampilkan “keutuhan keluarga”  dan hanya boleh disebut keluarga jika disana ditemukan dua makhluk berbeda “jenis kelamin” itu yang dengan sadar mau mengikat diri dalam sebuah keluarga, yang disana juga ada keluarga besar, Kakek, Nenek, Paman dan Bibi, Anak dan Keponakkan serta Cucu dan Cicit yang kemudian “bermetamorfosa” dari keluarga kecil menjadi suatu bangsa yang besar. Taklah bisa dibayangkan jika gender hanya dimaknai “pria” dan hanya pria, tanpa melibatkan secara logis hadirnya padanan setara baginya yaitu “wanita”. (P. Gabriel Marcel, OFM Cap).
Share on Share on Google Plus

About Unknown

Kami adalah para saudara Kapusin yang tinggal di Rumah Novisiat Kapusin Pontianak di Poteng, Singkawang. Kami membuat blog ini karena kami ingin berbagi nilai-nilai kemanusiaan, kekatolikan dan juga kefransiskanan kepada semua saja yang berminat atau tertarik untuk mempelajari dan mendalaminya. Harapan kami, tulisan-tulisan yang ada di blog ini dapat berguna untuk menambah wawasan keimanan kita semua.

0 comments:

Post a Comment