NATAL: INKARNASI HANCURKAN EGOSENTRISME

(Yoh 1:5; Yes 9; Lih.Kej 1; Flp 2:5–8)

Kata “natal atau natus” bukan kata yang asing bagi kita. Kata “natal” bermakna “natus Christus Deus in mundum”, kelahiran Kristus Tuhan di dunia”. Kelahiran adalah peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Inkarnasi adalah padanan untuk kata natal. Inkarnasi; in dan carne, in yang berarti dalam  atau masuk ke dan carne atau carnis berarti daging. Inkarnasi bermakna moment aktif Allah memasuki kehidupan manusia, misinya penebusan dan penyelamatan (Mat 1 : 18 – 25). Kelahiran atau proses aktif masuknya Allah dalam kehidupan manusia dengan mengenakan “kemanusiaan” lebih tepatnya “menjadi manusia (lebih beradab) atau “menjadi daging (fles bukan sar)” (kedinaan)” menghancurkan “egosentrisme”. Ego berarti aku, egoisme paham pemujaan diri yang mutlak, hanya diri yang ada, yang lain tambahan (suplemen), tidak harus ada. Pemusatan segalanya pada diri menimbulkan paham egosentrisme, arahnya pada diri sendiri, tertutup pada yang di luar diri (simpati dan empati nihil). Paham ini muncul dalam dalil “cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada, eksistensi diri ada karena proses sadar ratio . Keberadaan diri dan yang lain hanya disadari dalam proses aktif sadar berpikir. Kesadaran “mentis”, pola budi atau akal budi menjadi syarat untuk ada yang lain. Pengerdilan manusia mulai dari paham ini, apalagi bila dimutlakkan. Saya berpikir tidak setara dengan “kita bersama berpikir”.
          
Namun peristiwa NATAL menjadi saat di mana Tuhan menghancurkan egosentrisme dengan senjata INCARNASI. Yohanes dalam pembukaan injilnya menampilkan “natal” dalam gambaran lain. Tidak ada domba-domba, tidak ada kandang atau palungan (Luk 2 : 8 – 20). Tidak ada penguasa dan raja-raja (Mat 2 : 1 – 12). Ia langsung memberi informasi mengenai keberadaan Allah sejak kekal. Peristiwa natal bukan terutama Allah hadir ke dunia tetapi ia menekankan “proses aktif Allah dalam menyelamatkan manusia sejak kekal” (Yoh 1 : 1). Sejak penciptaan (Kej 1) Allah terus “mencipta” secara kreatif. Ia terus hadir, beserta manusia. Kelahiran bukan berarti karena kevacuman atau ketidakhadiran Tuhan di dunia, namun kelahiran berarti “penegasan, seruan” akan proses tak jemu-jemu Allah mau bersama manusia, ciptaan-Nya. Kebersamaan itu bagi Allah sebagai kemutlakan untuk keselamatan. Bersama Allah manusia menemukan hidup dan terang (Yoh 1 : 4). Karena itu, kebersamaan dengan Allah menjadikan manusia mengalami Terang Sejati yang takkan mampu dikalahkan oleh kegelapan (Yoh 1 : 5; bdk. Yes 9 : 1a).

Kegelapan (darkness) bukan berarti hanya ketiadaan terang. Kegelapan tetap ada namun tidak meniadakan terang. Karena kegelapan dimaknai ketiadaan terang. Jadi gelap tidak ada pada dirinya, ia hadir bila “meredup”, atau terhalanginya terang. Apa yang membuat hadirnya kegelapan? Paulus memberi pencerahan kepada kita dalam suratnya kepada jemaat Filipi (Flp 2 : 1 – 11). Gambaran umat atau jemaat Filipi demikian: ada ke-tidak-sepikir-an, semua ikut jalur pikir sendiri (egoisme), kepentingan bersama dinomor sekiankan, tidak ada kesatuan hati, tujuan bersama “buram” yang penting aku terpuji dan utama, sosialitas bukan mutlak, dipinggirkan. Situasi demikian tentu membuat “chaos” bukan “kronos”, kacau bukannya teratur. Inilah kegelapan itu. Pada hal sejak semula Allah menampilkan wajah keteraturan dan bukan kekacauan, semua baik adanya, ini “reffren kreasi” Allah (Kej 1). Yesus adalah wajah Allah yang merendahkan diri. Ia meninggalkan “keilahian-Nya” dengan mengenakan “kemanusiaan”. Yesus mengenakan kemanusiaan untuk menunjukkan bahwa Ia menghargai eksistensi manusia. Eksistensi manusia yang bagaimana? Tentu ini pertanyaan penting.

Dahulu sampai sekarang “wajah” manusia senantiasa dihiasi keburaman namun juga tak disangkal ada “wajah-wajah ceria”. Kelahiran Yesus menegaskan betapa Allah sangat mengagungkan manusia. Manusia yang “citra-Nya” (Kej 1 :26 – 27), memiliki nilai atau pun harga yang luar biasa tinggi. Dalam diri manusia “tergambar” wajah-Nya. Ada “nilai ke-ilahi-an” dalam diri manusia. Sehingga pola pikir, pola sikap dan tindakan manusia semestinya “mencerminkan” pola pikir, pola sikap dan tindakan yang ada pada Allah. Inkarnasi adalah “Allah merendah”, “Allah meninggalkan keagungan-Nya”, “masuk dalam martabat manusia” mengangkatnya dan meluhurkannya. Karena itu manusia sungguh berharga, keberadaan manusia, bukan suplemen kreasi ilahi atau suatu komplementasi dari ciptaan. Manusia adalah mahkota ciptaan yang sungguh bermutu tinggi (Kej 2). Segala tindakan, pola pikir dan sikap manusia mesti diarahkan pada manusia Yesus, bila manusia mau berjalan dalam terang. Amin. (by P. Gabriel Marcel, OFM Cap.) 

Share on Share on Google Plus

About Unknown

Kami adalah para saudara Kapusin yang tinggal di Rumah Novisiat Kapusin Pontianak di Poteng, Singkawang. Kami membuat blog ini karena kami ingin berbagi nilai-nilai kemanusiaan, kekatolikan dan juga kefransiskanan kepada semua saja yang berminat atau tertarik untuk mempelajari dan mendalaminya. Harapan kami, tulisan-tulisan yang ada di blog ini dapat berguna untuk menambah wawasan keimanan kita semua.

0 comments:

Post a Comment