PENGALAMANKU TINGGAL BERSAMA ORANG KUSTA

(Sebuah refleksi dari live in di Rumah Sakit Alverno, Singkawang).

Senin, 10 November 2014 adalah hari di mana kami Novis Kapusin Padre Pio, Gunung Poteng, Singkawang diutus untuk hidup di tengah mereka yang terkena penyakit Lepra atau lebih dikenal dengan Kusta. Sebelumnya memang saya sudah pernah ke tempat ini untuk tugas ambulatio sewaktu di Seminari Menengah Nyarumkop. Tetapi hanya “numpang lewat” saja. Mulai hari ini, sampai dengan 15 November 2014 saya benar-benar akan hidup di tengah mereka. Dalam hati, saya merasa takut tertular, jijik dan berpikir bahwa saya harus benar-benar protektif untuk salah satu penyakit ini, sebagaimana St. Fransiskus mengalami hal ini sebelum pertobatannya dan juga kisah Injil menceritakannya.

Kira-kira pukul 08.35, kami sampai di Rumah Sakit Kusta Alverno, Singkawang. Udara segar, lingkungan bersih serta senyum para pasien dan seorang suster menyambut kami. Sesudahnya kami diajak langsung menuju kamar, tempat kami menginap. Di dalam kamar pun saya berpikir yang aneh-aneh. Takut menggunakan barang-barang yang disediakan di situ. Tetapi saya bertekad untuk menahan diri dan membiarkan Allah bekerja dalam diri saya ketika saya hadir di tempat ini. 

Kami berkeliling, melihat lingkungan yang bersih, melihat pasien yang saling tolong dalam bekerja memanen kacang tanah. Setelah berkeliling, kami mengganti pakaian dan ikut berbaur dengan mereka yang memanen kacang. Dalam hati saya heran dan kagum. Kagum karena mereka kompak, saling membantu, cekatan dan memiliki semangat hidup yang tinggi. Saya bertanya dalam hati, kenapa kami yang normal ini tidak bisa seperti mereka?

Setelah memanen, kami diberi sedikit pengetahuan tentang kusta oleh seorang perawat yang sudah 16 tahun bekerja di situ. Saya menyadari bahwa kusta tidak perlu ditakuti, karena kini sudah ada obat untuk membunuh kuman penyakit kusta. Kuman pasti akan mati, jika penderita meminum obat yang disediakan. Kusta juga tidak perlu ditakuti, karena penyakit ini tidak membunuh, penyakit ini tidak akan menular jika pasien sudah dirawat. Walaupun demikian, penyakit kusta juga tidak boleh diremehkan, karena penyakit ini bisa menular melalui udara (pernapasan) melalui mereka yang belum pernah minum obat kusta. Kusta yang lambat ditangani sangat besar kemungkinan untuk menderita cacat fisik. Setelah mendapat informasi, saya merasa agak tenang walau masih ada keraguan. 

Siang lewat, malam tiba. Sebelum makan malam, kami ibadat sore setelah itu langsung makan malam bersama. Malam ini, saya merasa sangat tenang berada di dekat seorang mantan pasien yang bisu karena saudara-saudara sudah mulai mengakrabkan diri dengan mereka. Malam ini, juga, kami diundang lagi oleh suster untuk pengetahuan tambahan di rumah suster. Di rumah suster malam itu hanya ada dua suster yaitu Sr. Angelita SFIC dan Sr. Edmunda SFIC. Dalam pembicaraan, saya termenung, mengapa suster ini bisa bergaul dan melayani orang kusta dan saya tidak bisa? Saya harus bisa dan mampu untuk hidup di sini seperti St. Fransiskus yang telah merasakan kemanisan jiwa berkat perjumpaannya dengan orang kusta. Setelah saya bertekad ini, saya pun dapat mencecapi sedikit kemanisan itu.

Hari-hari berikutnya saya jalani dengan kekaguman terhadap para pasien. Permulaan hari Selasa saya kagum karena para pasien itu sudah bangun pukul 5 pagi dan sudah membersihkan diri dan lingkungan kamar mereka. Setelah ibadat, saya juga kagum karena pagi hari, mereka yang anggota tubuhnya masih utuh, membantu mereka yang cacat untuk menyapu, mengambil makanan dan minuman. Menakjubkan !!!

Hari ini saya dan saudara Leo membantu mengganti perban. Tugas ini saya anggap berat karena akan membuat saya merasa jijik dan takut. Tetapi kenyataan berubah seratus delapan puluh derajat karena saya bisa menjalankan tugas ini dengan baik di sini. Saya melihat kembali pengalaman Fransiskus yang mau mengobati para penderita kusta, serta melihat juga Injil ketika Yesus menyembuhkan 10 orang kusta. Takjub karena mereka pun tidak malu untuk dirawat oleh Frater yang belum mereka kenal sepenuhnya mengucap terima kasih setelah mendapat yang dibutuhkan. Dalam pekerjaan ini, saya berusaha mencintai pekerjaan ini dengan hati. Usaha saya ini lumayan berhasil karena saya mampu melaksanakannya dan kemudian merasa suatu “kemanisan” karena merawat mereka. Saya sebenarnya juga sangat mau mendapat jatah merawat mereka lebih banyak lagi, tetapi hal ini tidak terjadi, karena pos pengganti perban hanya satu kali saja untuk saya.

Hari berikut, Rabu saya bekerja di kebun. Mengetahui jadwal di kebun, saya merasa sangat malas untuk berangkat di kebun. Tetapi saya melawan dan harus ke kebun. Ternyata di sinilah tempat yang pas untuk saya dalam bekerja. Tuhan sungguh luar biasa karena membuat saya senang bekerja di kebun dan ini sungguh susah dijelaskan dengan kata, karena jujur saya malas untuk bekerja di kebun. Saya kemudian setiap selesai pos yang lainnya hampir selalu pergi dan bekerja di kebun.

Di sini, saya kagum dengan seorang bapak mantan kusta karena walaupun telapak tangan sudah tidak ada, tetapi ia tetap bisa mencangkul, menyabit rumput, mengasah alat kerja dan sebagainya. Saya melihat dalam diri bapak itu semangat yang luar biasa yang dapat memacu saya dan karyawan lainnya untuk bekerja penuh semangat. Saya pun mengakrabkan diri dengan mereka dan ternyata di luar dugaan saya, mereka mau juga membalas setiap sapaan, lelucon dan perkataan saya. Di sini saya belajar untuk menghargai dan menghormati orang lain, cekatan, saling membantu dan tentunya saling berkomunikasi. Karena komunikasi dapat menghindari segala kesalahpahaman yang ada.

Kamis, saya membantu Sr. Angelita membagi obat bagi pasien yang sakit. Sebelum membagi obat, saya diminta untuk menyuapi makanan kepada seorang kakek yang lumpuh. Saya merasa senang karena saya mengingat kembali beginilah dulu saya ikut merawat almarhum kakek saya dan saya melihat diri saya yang kelak akan tua dan dirawat oleh yang muda. Hari ini pun saya diajari pentingnya komunikasi dan ucapan terima kasih sebagai bayaran yang bagi saya sangat mahal karena sangat jarang saya keluarkan. Karena dalam ucapan inilah arti sebuah penghargaan terbesar bagi saya dan menjadi ucapan syukur atas apa yang telah diberikan Tuhan kepada saya, kita dan semua orang. Dan yang saya dapat dari hari ini juga adalah kepercayaan para pasien akan perawat-perawatnya.

Setelah membagi obat, saya membantu di kebun lagi. Dan saya merasa semakin akrab dengan para pekerja di kebun. Di kebun ini, saya berefleksi bahwa memang benar yang disebut dalam Kitab Suci “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit” (Mat.9:37). Memang banyak lahan, pekerjaan yang harus dikerjakan tetapi para pekerja sedikit layaknya seperti kenyataan sekarang di mana tuaian (umat/pekerjaan) memang banyak tetapi pekerja (biarawan/wati, dan para imam) sedikit, dan hal ini membuat saya merasa dikuatkan oleh Sabda tersebut untuk “melamar” menjadi pekerja dalam menuai tersebut. Dan saya hanya berserah pada Tuhan, apakah kelak diangkat menjadi pekerja atau tidak.

Jumat, saya bekerja di pos kebun. Hari ini, kami membersihkan bedengan sayur. Keceriaan di pagi hari membuat saya semangat bekerja dan memang pekerjaan selesai dengan baik karena semangat kerja tangan yang diwarisi oleh Fransiskus itu, bukan hanya saya yang berusaha melaksanakannya, tapi juga para karyawan kebun itu memiliki semangat Fransiskus juga walau mereka agamanya berbeda dengan saya. Selesai bekerja pukul 11 siang, saya merasa cukup lelah. Tapi kemudian mandi dan siap santap siang. Setelah santap siang, saya berefleksi sejenak bahwa di sini juga mereka memang menghidupi semangat Fransiskus yang hidup dalam persaudaraan. Saya melihat mereka sudah menganggap saudara satu sama lain baik di Alvemo ini, maupun di tempat yang kami kunjungi pada hari Kamis di Pakunam.

Hari Sabtu, jam 10 kami pulang kembali ke Novisiat dengan dijemput P. Agus. Sebelum pulang ke Novisiat, saya menyempatkan diri untuk bekerja sebentar di pos, membersihkan unit D. dengan mengepel kamar dan lorong serta mengelap jendela dan bangku. Saya melihat bahwa kebersihan adalah sebuah kebutuhan dan ini harus mampu saya terapkan karena, mereka yang keadaannya cacat saja mampu menjaga kebersihan. Kenapa saya tidak? Setelah bekerja, saya berpamitan dengan para pasien, walau tidak bisa semuanya karena sebagian tidak ada di tempat. Saya melihat bahwa mereka sangat senang akan kehadiran para Frater, Suster dan Pastor. (Fr. Nikolaus OFMCap.)

Share on Share on Google Plus

About Unknown

Kami adalah para saudara Kapusin yang tinggal di Rumah Novisiat Kapusin Pontianak di Poteng, Singkawang. Kami membuat blog ini karena kami ingin berbagi nilai-nilai kemanusiaan, kekatolikan dan juga kefransiskanan kepada semua saja yang berminat atau tertarik untuk mempelajari dan mendalaminya. Harapan kami, tulisan-tulisan yang ada di blog ini dapat berguna untuk menambah wawasan keimanan kita semua.

0 comments:

Post a Comment