BAGIMU AKU GILA, TAPI TIDAK BAGI NYA

CERPEN:

Waktu aku tiba di Sambas hari hampir malam. Perlahan namun pasti, diiringi dengan suara dentuman beduk dan pekikan azan yang indah, sinar mentari sore mulai terbenam ke tempat peraduannya. Sambas dikenal dengan kota seribu Masjid. Kota di pinggir sungai itu nampak indah pada malam hari.   

Sudah empat hari sejak liburan ke Sambas, aku selalu menyempatkan diri untuk jalan-jalan ke taman pastoran, kebetulan beberapa hari ini saya melihat seekor musang peliharaan di taman itu.

Sekitar jam 07.00 pagi itu aku berjalan-jalan ke tanam depan pastoran. Hari ini mentari pagi bersinar cerah, seakan mengundang semua makhluk untuk sejenak bersyukur atas rahmat yang diterima dari sang pencipta. Kicauan burung pipit yang bersahut-sahutan semakin menambah indahnya taman itu. Aku terus berjalan menuju kandang musang yang ada di tengah taman yang teduh oleh naungan pohon jati.

Ketika sedang menikmati indahnya pemandangan taman di pagi itu, dari kejauhan aku mendengar suara sayup-sayup sumbang, menyanyikan lagu rohani berbahasa mandarin. “Wo yao yong yong yuan yuan ai zhe Ye su.” (Ku mau cinta Yesus selamanya). Syair ini terus diulang-ulangnya tanpa akhir. Untuk mengobati rasa penasaran, aku berusaha mencari tahu siapa orang yang menyanyikan lagu itu.

Telah sekian menit lamanya aku mencari orang itu, akhirnya dari kejauhan kulihat seorang bapak tua yang sedang sibuk sendirian di samping patung Kristus Raja yang ada di tengah taman. Ku dekati dia. Ternyata dia sedang sibuk memungut daun-daun yang jatuh di taman itu. Aku tak ingin mengganggunya. Tapi entah kenapa ada dorongan dari dalam diriku untuk menyapanya.

“Pak... selamat pagi.” Sapaku padanya. Tanpa menghiraukan sapaanku, pak tua itu masih sibuk memungut daun-daun jati itu. “Pak... selamat pagi.” Sapaku sekali lagi. Dari sorotan matanya yang tajam, Ia menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambut. “Sepertinya dia tak mengerti bahasa Indonesia.” Gumamku dalam hati.

“Hong, Ahong, Nyi shit pau fon mang?” (Kamu sudah makan belum?). Tanya pastor Firminus kepada bapak tua itu. Namun ia tidak menghiraukan suara itu. Ia terus memungut daun-daun yang jatuh di taman itu. Pastor Firminus sangat perhatian akan kebutuhan makan dan minum pak tua itu. 

“Namanya Ahong toh!” Kataku dalam hati. Dari raut wajahnya yang keriput dan rambutnya yang memutih, menujukan usianya mungkin sekitar lima puluh tahunan. Berpakaian compang-camping, badannya berbau dan kumal, rambutnya acak-acakan, kantong kresek bekas berisi daun-daun jati yang kering selalu nempel di lehernya.

Pemulung atau tukang kebersihan pastoran? Keduanya bukan! Dia adalah seorang gila. Gila! Ya, Ahong itu orang gila. Hampir setiap hari di berada di taman depan pastoran memunguti sampah-sampah dan daun-daunan yang  jatuh di tanam itu. rumahnya di belakang paroki dan di sana ia tinggal sendirian.

Di taman pastoran inilah setiap hari Ahong nongkrong. Para tamu pastoran merasa jijik dan risih memandangnya. Kadang orang bertanya, mengapa harus taman pastoran yang menjadi tempatnya nongkrongnya?

Berbeda dengan Pastor Firminus (Imam dari Ordo Saudara Dina Kapusin) yang adalah pastor paroki, tidak merasa risih dan jijik terhadap Ahong, malahan ia merasa senang dengannya. Karena Ahong sering nongkrong di situ, patung Kristus Raja terjaga dari kerusakan yang disebabkan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Maklum, saat ini situasi di paroki lagi tidak kondusif. Ada sekelompok orang, menentang keputusan pastor paroki dan umat untuk merenovasi dan sedikit memperbesar gereja yang berusia sudah cukup tua itu.

Hari-hari, jam-jam, dan menit-menit dilalui Ahong hanya memungut daun-daun yang jatuh di sekitar patung itu. Kadang ia diejek- ejek oleh anak-anak yang melihatnya, tapi ia tidak menghiraukannya, dan tetap sibuk dengan aktivitasnya. Setelah memungut dan menyimpan daun-daun itu ke dalam kantong kreseknya kemudian ia merenung, tersenyum, sedih, kadang juga menangis, bernyanyi, lalu tertawa. Seperti kelakuan orang gila lainnya, ia tak sibuk dengan dirinya.

Suatu hari ketika Pastor Firminus pergi kerasulan ke stasi-stasi. Ahong merasa resah dan gelisah. Ia seperti menanti dalam kecemasan. Tidak lama kemudian Ahong menghilang dari taman itu, entah kemana ia pergi, tak seorang pun mengetahuinya dan tak seorang pun yang berminat hendak mengetahui kemana perginya. Hanya Pastor Firminus yang sibuk mencarinya ke sana kemari. Dicari di seluruh taman dan di rumah tempat tinggalnya pun tidak ada, ditanya ke orang-orang sekitar apakah mereka ada melihat Ahong, tidak ada satu pun yang melihatnya. Kemudian pastor meminta bantuan kepada beberapa remaja katolik untuk melihat-lihatnya ke kota barangkali masih bisa menemukan si Ahong. Hasilnya sama saja, Ahong tidak ditemukan.

Pada suatu malam yang dingin dan sunyi. Tak terdengar suara apa pun di luar. Sesekali angin malam berdesir. Daun-daun bergoyang lemah seakan tanpa daya. Bulan pun tampak kusut bertanda diselimuti oleh awan gelap. Tak ada seorang pun yang tampak keluar dari rumah. Malam yang tenang itu dimanfaatkan oleh sekelompok orang jahat untuk menyusup masuk ke dalam taman pastoran, kemudian merusak patung Kristus Raja yang ada di tengah taman itu. Setelah merusaknya, mereka mengangkat patung itu dan membuangnya ke sungai, tak seorangpun yang mengetahui terjadinya peristiwa itu. Kejadian ini membuat hati pastor proki merasa sedih, kesal dan kecewa.

Selang beberapa lama setelah terjadinya peristiwa perusakan patung Kristus Raja oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Terdengarlah kabar yang mengagetkan, bahwa ditemukan jasad seorang pria tua, yang mengapung di tepi sungai Sambas. Karena penasaran dengan berita itu, aku pun bergegas pergi melihat siapa orang itu!

Tersentak terkejut dan sedih katika aku melihat bahwa orang yang diberitakan itu adalah si Ahong! Kata orang dia mati karena hanyut terseret air sebab ia tidak bisa berenang. “Kenapa bisa hanyut, padahal selama ini Ahong tidak pernah bermain di tepian sungai itu?” Gumam ku dalam hati.

Setelah itu aku pun bergegas pergi menuju pastoran hendak mengabarkan peristiwa ini kepada pastor Firminus. Dalam perjalanan menuju pastoran, ku sempatkan diri untuk mampir sebentar ke rumah salah seorang umat paroki.

Setelah disuguhkan segelas teh hangat oleh seorang ibu, saya gunakan kesempatan ini untuk bertanya kepada ibu itu tentang Ahong, dengan tujuan agar kudapat jawaban yang pasti mengenai peristiwa yang terjadi dengan Pak tua itu. Ternyata ibu ini mengetahui banyak hal mengenai peristiwa kematian si Ahong. Dari ceritanya, saya baru mengetahui penyebab kematian Ahong.

Kematian Ahong yang hanyut terseret air, bertepatan dengan peristiwa perusakan patung Kristus Raja yang ada di taman pastoran. Ahong melihat sekelompok orang membuang patung Yesus ke sungai, kemudian tanpa segan-segan Ahong pun loncat ke sungai hendak mengambil patung itu, tidak lama kemudian ia menghilang. Setelah tiga hari kemudian barulah mayatnya mengapung. Mayatnya ditemukan oleh para nelayan yang sedang menjala ikan. Menurut cerita para nelayan, mayat Ahong mengapung di sebelah patung Yesus yang telah rusak. Peristiwa ini menumbuhkan kekaguman dalam diriku kepada si Ahong, bahwa ia mati demi menyelamatkan patung Kristus Raja yang dibuang di sungai.

“Wo yao yong yong yuan yuan ai zhe Ye su.” (Ku mau cinta Yesus selamanya).  Teringat di benakku akan lagu yang selalu dinyayikan si Ahong ketika berada di taman. “Apakah ini merupakan bentuk nyata dari kecintaan Ahong akan Tuhan Yesus?” Tanya ku dalam hati. Tersentuh akan peristiwa ini, aku disadarkan akan imanku. “orang gila saja rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan patung Yesus sebagai ungkapan imannya. Bagai mana dengan saya?” Pertanyaan ini selalu menggumam  dalam hatiku.

Suatu malam dalam keadaan letih dan tak sadar aku tertidur di ruang tamu pastoran, dan Ahong datang dalam mimpiku, ia berkata “Tuhan Yesus tidak pernah bosan melihat manusia yang gila, yang selalu ada di depan-Nya. Tapi, tahukah engkau mengapa aku selalu berada di taman pastoran, dan memungut sampah-sampah di taman itu? Aku berharap agar Tuhan membersihkan diriku dari noda dosa. Hanya ini yang dapat kuperbuat, melakukan hal besar aku tak mampu. Aku merasa kecil di hadapan-Nya  sebab semua orang menghina aku. Aku ingin berbuat sesuatu bagi-Nya, tapi aku terlalu lemah bagi orang aku adalah gila tapi tidak bagi-Nya. Namun, satu hal yang pasti bahwa Tuhan memperhatikan dan mengasihi semua orang. Orang-orang tidak tahu bahwa dengan tertawa, senyum, dan tangisku ,aku menyampaikan doa kepada Tuhan. Tuhan telah mendengarkan doaku dan kini aku bahagia berada di pangkuan-Nya.”

Pak tua sudah tiada. Kantong kresek dan daun jati yang ada di dalamnya sudah usang dan lapuk. Tidak ada yang menggantikan tawa, senyuman dan suara sumbangnya. Orang-orang yang sering bertamu ke pastoan mengalami dilema rasa. Antara merasa bersalah atau merasa terbebas dari dosa atas ejekan yang dilontarkan kepada pak tua itu. Terlebih lagi masih ada yang berkata, “Ah tak ada pengaruhnya bagi kami, karena memang dia gila...” Namun satu hal yang tidak mereka ketahui bahwa Ahong sudah beristirahat dalam damai dan bahagia. (Fr. Masseo Clinton OFMCap).



Biara Kapusin Alverna
Jl. Pasar Baru – Sinaksak
Kotak Pos 168
Pematangsiantar 21101
Share on Share on Google Plus

About Unknown

Kami adalah para saudara Kapusin yang tinggal di Rumah Novisiat Kapusin Pontianak di Poteng, Singkawang. Kami membuat blog ini karena kami ingin berbagi nilai-nilai kemanusiaan, kekatolikan dan juga kefransiskanan kepada semua saja yang berminat atau tertarik untuk mempelajari dan mendalaminya. Harapan kami, tulisan-tulisan yang ada di blog ini dapat berguna untuk menambah wawasan keimanan kita semua.

0 comments:

Post a Comment